Pondok Pesantren Maskumambang didirikan pada tahun 1859 Masehi (1281 Hijriah) oleh KH. Abdul Djabbar sebagai upaya mencetak kader-kader dai yang mampu menghapus kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pada masa itu, masyarakat sekitar masih banyak yang mempraktikkan takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC), seperti membuat sesaji untuk penguasa Bengawan Solo Dukun, yang sering diasosiasikan dengan buaya putih.

KH. Abdul Djabbar memulai pembangunan pesantren ini dengan merambah hutan kecil di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, sekitar 40 kilometer di barat laut Kota Surabaya. Beliau mendirikan sebuah langgar sederhana dari anyaman bambu (besek dalam bahasa Jawa) dengan tiga ruangan. Langgar ini digunakan untuk mengajari anak-anak dan masyarakat sekitar membaca Al-Qur’an, memahami tafsir, dan mempelajari fiqih. Pada masa awal, proses pembelajaran menggunakan metode tradisional seperti **sorogan**, **bandongan**, dan **halaqah**. Seiring waktu, semakin banyak orang dari luar desa dan daerah lain yang datang untuk belajar di pesantren ini.

Nama **Maskumambang** yang diberikan kepada pesantren ini tergolong unik, mengingat nama pesantren biasanya berasal dari istilah dalam bahasa Arab atau nama tokoh Muslim. KH. Najih Ahjad menjelaskan bahwa nama Maskumambang kemungkinan diambil dari salah satu tembang macapat gubahan Sunan Kudus. Tembang ini menggambarkan fase kehidupan manusia, mulai dari keberadaan roh yang ditempatkan di rahim ibu hingga kelahiran bayi ke dunia, yang seringkali disertai rasa sakit, keluhan, dan keprihatinan.

Pemilihan nama ini mencerminkan kondisi masyarakat saat KH. Abdul Djabbar mendirikan pesantren, di mana kehidupan mereka masih dipenuhi dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat, jauh dari nilai-nilai syariat Islam. Dengan pesantren ini, KH. Abdul Djabbar berupaya mengubah kondisi tersebut dan membawa masyarakat ke arah pemahaman Islam yang lebih murni sesuai dengan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Sejarah Pondok Pesantren Maskumambang

1859 - 1907 M
Periode Pertama
A. KH.Abdul Djabbar

Pesantren Maskumambang didirikan oleh KH. Abdul Djabbar, seorang ulama yang lahir di Sidayu, Kabupaten Gresik, pada tahun 1820 Masehi atau 1241 Hijriah. Beliau adalah putra dari Kadiyun bin Kudoleksono, seorang Demang di Desa Kalirejo, Dukun, Gresik. Silsilah keluarga beliau dapat ditelusuri hingga Joko Tingkir dan Prabu Brawijaya V.

Di masa mudanya, KH. Abdul Djabbar bekerja sebagai pegawai kantor di Karesidenan Sidayu, Gresik. Beliau dikenal sebagai sosok yang rajin, tekun, dan amanah. Namun, beliau kemudian memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan mendalami ilmu agama dengan menjadi santri di berbagai pesantren. Pesantren pertama yang beliau tempuh adalah di Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo, dilanjutkan ke Tugu, Kedawung, Pasuruan.

Setelah menyelesaikan pendidikan agamanya, KH. Abdul Djabbar kembali ke kampung halamannya. Pada usia 35 tahun, beliau menikah dengan Nyai Nursimah, putri Kiai Idris dari Kebondalem, Baureno, Bojonegoro.

1907 - 1937 M
Periode Kedua
KH. Muhammad Faqih

KH. Muhammad Faqih adalah putra keempat dari KH. Abdul Djabbar. Beliau lahir pada tahun 1857 Masehi di Maskumambang, Desa Sembungan Kidul, Dukun, Gresik. Sejak kecil, KH. Muhammad Faqih mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, KH. Abdul Djabbar. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan agama di berbagai pesantren, termasuk Pesantren Ngelom (Sidoarjo), Pesantren Kebondalem (Surabaya), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Qomaruddin (Bungah, Gresik). Pendidikan beliau dilengkapi dengan belajar di Mekkah selama tiga tahun.

KH. Muhammad Faqih dikenal sebagai seorang ulama besar, baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa. Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu agama, seperti tafsir, mantiq, balaghah, tauhid, ushul fikih, dan lain sebagainya. Salah satu karya penting beliau adalah sebuah buku ilmu falak berjudul *Al-Mandzumah Al-Dailah fi Awaili Al-Asyur Al-Qamaraiyah*, yang membahas ilmu perbintangan atau falak.

Di bawah kepemimpinan KH. Muhammad Faqih, Pesantren Maskumambang berkembang pesat. Pesantren ini menjadi pusat pendidikan agama yang terkenal, menarik santri dari berbagai pelosok Jawa dan Nusantara. KH. Muhammad Faqih juga turut berkontribusi dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU) bersama KH. Hasyim Asy’ari, di mana beliau menjabat sebagai salah satu wakilnya. Menurut Dennis Lombard, pada abad ke-19 hingga ke-20, Pesantren Maskumambang menjadi salah satu tempat pengkajian agama Islam yang sangat terkenal di Gresik dan Nusantara.

Dalam kehidupan pesantren sehari-hari, KH. Muhammad Faqih melanjutkan tradisi ayahnya dengan tetap berpegang pada ajaran **Ahlussunnah Waljamaah**. Keilmuan beliau yang mendalam dan kemasyhuran namanya menjadikan Pesantren Maskumambang semakin dikenal luas, dengan santri yang berdatangan dari berbagai daerah.

KH. Muhammad Faqih wafat pada tahun 1937 Masehi (1353 Hijriah) dalam usia 80 tahun. Kepemimpinan Pesantren Maskumambang kemudian diteruskan oleh putranya, KH. Ammar Faqih.

1937 - 1965 M
Periode Ketiga
K.H. Ammar Faqih

KH. Ammar Faqih lahir di Desa Sembungan Kidul, Dukun, Gresik, pada 8 Desember 1902 Masehi. Sejak kecil, beliau mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya, KH. Muhammad Faqih, mempelajari berbagai disiplin ilmu agama seperti aqidah, fikih, nahwu, sharaf, ushul fikih, dan akhlak. Berkat kecerdasannya, sebelum usia 20 tahun, KH. Ammar Faqih telah menguasai ilmu kalam, sastra Arab, balaghah, mantiq, nahwu, dan sharaf. Pada usia 23 tahun, beliau mulai menghafal Al-Qur'an dan berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz hanya dalam waktu tujuh bulan.

Pada tahun 1926, KH. Ammar Faqih menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mendalami ilmu agama Islam. Di Mekkah, beliau juga bertemu dengan sejumlah ulama dan tokoh Wahabi. Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1931, beliau mempelajari ilmu falak kepada KH. Mansur di Madrasah Falakiyah, Jakarta. Kemudian, pada tahun 1943, beliau mengikuti pelatihan kiai di Jakarta selama 20 hari.

Selain aktif dalam dunia pendidikan, KH. Ammar Faqih juga berperan besar dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Peranannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sempat dianggap mengancam misi Jepang di tanah air. Akibatnya, segala aktivitas beliau diawasi dengan ketat, bahkan beberapa kali ditawan oleh pemerintah Jepang. Selama masa kepemimpinan KH. Ammar Faqih, Pesantren Maskumambang menjadi markas bagi para pejuang kemerdekaan dari Gresik, Surabaya, Lamongan, dan Sidoarjo untuk melatih dan menyusun strategi. Meskipun kegiatan pengajaran di pesantren sempat terabaikan, pendidikan tetap berjalan.

Setelah Indonesia merdeka, KH. Ammar Faqih aktif di bidang politik dengan bergabung dalam Partai Masyumi. Pada tahun 1959, beliau terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Surabaya (yang kini menjadi Kabupaten Gresik). Beliau juga menjadi anggota Majelis Syuro Masyumi Pusat. Namun, setelah terjadi perpecahan dalam partai Islam tersebut, KH. Ammar Faqih memutuskan untuk mengundurkan diri. Selain itu, beliau aktif dalam organisasi Muhammadiyah di Dukun.

Di akhir hayatnya, KH. Ammar Faqih memutuskan untuk fokus mengasuh Pesantren Maskumambang. Sebelum wafat pada tahun 1965 Masehi, beliau menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada KH. Najih Ahjad.

1965 - 2015 M
Periode Kempat
KH. Najih Ahjad

KH. Najih Ahjad lahir di Blimbing, Paciran, Lamongan, pada 19 Maret 1936, dari pasangan KH. Mohammad Ahjad dan Ning Suhandari. Ayah beliau, KH. Mohammad Ahjad, merupakan keponakan dari KH. Abdul Djabbar karena neneknya, Nyai Ngapiyani, adalah adik kandung KH. Abdul Djabbar. Pada tahun 1948, KH. Najih Ahjad pindah ke Maskumambang, Dukun, Gresik, mengikuti sang ibu yang menikah dengan KH. Ammar Faqih. Sejak saat itu, beliau hidup di lingkungan Pesantren Maskumambang dan mendapatkan pendidikan langsung dari KH. Ammar Faqih. Berkat kecerdasan intelektualnya yang luar biasa, beliau banyak belajar secara autodidak.

Selain belajar agama di pesantren, KH. Najih Ahjad juga sempat bersekolah di Sekolah Rakyat (SDN). Pada masa kepemimpinan KH. Ammar Faqih, beliau sudah aktif membantu mengurus pesantren dan memperkenalkan sistem pendidikan formal modern. Pada 4 Maret 1958, beliau berperan dalam pembentukan yayasan yang menjadi fondasi pengembangan Pesantren Maskumambang. Setelah KH. Ammar Faqih wafat pada tahun 1965, KH. Najih Ahjad secara resmi mengambil alih peran sebagai pengasuh pesantren.

Di bawah kepemimpinan KH. Najih Ahjad, Pesantren Maskumambang mengalami transformasi besar. Beliau memisahkan aset pesantren dan aset pribadi secara transparan dan akuntabel. Pesantren Maskumambang menjadi pusat pendidikan Islam yang menyelenggarakan program pendidikan formal, mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga perguruan tinggi, serta lembaga nonformal lainnya. Selain itu, beliau mengembangkan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan para santri dan umat.

KH. Najih Ahjad juga aktif dalam politik dan organisasi Islam, serta menulis berbagai buku monumental. Dengan kepemimpinan selama 50 tahun—yang terpanjang dalam sejarah Pesantren Maskumambang—beliau membawa kemajuan baik fisik maupun spiritual. Pesantren Maskumambang menjadi simbol kejayaan dan pusat pencerahan Islam, menarik ribuan santri yang ingin memperdalam aqidah shahihah, amal shalih, ilmu yang bermanfaat, dan akhlak mulia. Ribuan alumni dari pesantren ini kini berkiprah di berbagai bidang, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Pada tahun 2010, KH. Najih Ahjad mengalami kecelakaan di kamar mandi yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit dan menjalani opname. Beliau juga menderita diabetes, sehingga sejak saat itu menggunakan kursi roda untuk aktivitas sehari-hari. Meski begitu, beliau tetap semangat memimpin pesantren. Setiap pagi, KH. Najih Ahjad berkeliling pesantren dengan kursi roda, menyapa santri dan ustaz yang datang untuk bersalaman.

KH. Najih Ahjad wafat pada Rabu, 7 Oktober 2015, pukul 02.20 WIB, dalam usia 79 tahun. Kepergiannya membawa duka mendalam bagi keluarga besar Pesantren Maskumambang, termasuk kerabat, ustaz, santri, kolega, dan masyarakat. Jenazah beliau disalatkan di Masjid Maskumambang setelah salat Zuhur dan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga pesantren, bersebelahan dengan makam ibu beliau, Ning Suhandari, dan istrinya, Nyai Dlohwa, yang telah mendahuluinya.

Kepemimpinan Pesantren Maskumambang kemudian dilanjutkan oleh menantu beliau, Drs. KH. Fatihuddin Munawir, M.Ag., suami dari Drs. Hj. Ifsantin Najih.

January, 2912
Expanded
KH. Fatihuddin Munawwir

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

January, 2024
Expanded
H. Nidlol Masyhud, Lc.,Dpl

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.