Ahmad Mudzoffar Jufri MA*
Menyembelih udhiyah (hewan qurban) pada hari raya idul adha merupakan salah satu bentuk ibadah ritual yang hanya boleh dipersembahkan dan ditujukan dengan ikhlas kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2).
Dengan demikian prosesi menyembelih hewan qurban adalah salah satu bentuk representasi kemurnian iman dan tauhid seorang mukmin. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am [6]: 162). Dan sebaliknya memperuntukkan dan mempersembahkan sembelihan apapun kepada selain Allah adalah sebuah tindakan syirik yang dilaknat oleh Allah (lihat HR. Muslim).
Dan karena sifatnya sebagai ritual persembahan khusus kepada Allah itu, maka menurut jumhur ulama, tidak ada bagian manapun dari hewan qurban yang boleh dijual atau apalagi untuk dijadikan sebagai upah jagal misalnya atau beaya operasional. Dan hal itu termasuk kulitnya, bulunya dan bahkan kain penutup yang dipakaikan pada hewan qurban sebagai penahan cuaca panas dan dingin sejak seekor hewan telah ditetapkan sebagai udhiyah sampai saat disembelih.
Karena sejak ditetapkan sebagai qurban yang dipersembahkan hanya kepada Allah, maka hewan udhiyah itu telah “resmi” menjadi “milik” Allah. Dan Allah Ta’ala – melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya mengizinkan agar hewan qurban “milik”-Nya itu dikonsumsi oleh pequrban dan keluarganya, disimpan, dan dibagi-bagikan sebagai sedekah atau hadiah, dan tidak memperkenankan untuk dijual atau lebih-lebih dijadikan sebagai upah jagal dan beaya operasional.
Dalam hadits Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurus unta-unta sembelihan ibadah (sebagai hadyu atau qurban) milik beliau, dan agar aku membagi-bagikan dagingnya, kulitnya dan bahkan “baju”-nya kepada orang-orang miskin. Serta agar aku tidak memberikan sesuatupun dari bagian hewan qurban itu kepada jagal (sebagai ongkos/upah) (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dan dalam hadits itu pula, beliau bersabda kepada Ali: “Sedekahkanlah “baju” penutupnya dan tali ikatannya , serta janganlah Engkau berikan upah jagal dari bagian hewan sembelihan tersebut”. Lalu dalam sebuah hadits yang diperselisihkan derajat riwayatnya: “Barangsiapa menjual kulit hewan qurbannya, maka (seolah-olah) tiada qurban baginya” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan lain-lain dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Al-Albani).
Atas dasar hadits-hadits tersebut dan lainnya, maka tentang haramnya pemakaian bagian hewan qurban sebagai upah jagal dan beaya operasional, serta penjualan dagingnya secara khusus, telah menjadi ijmak dan kesepakatan diantara seluruh ulama. Sedangkan untuk bagian-bagian selain daging, seperti kulitnya, kepalanya dan lain-lain, memang terdapat sedikit perbedaan pendapat terkait hukum penjualannya. Namun jumhur madzhab (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tetap sepakat bahwa, haram hukumnya bila bagian apapun dari hewan qurban itu dijual atau apalagi dijadikan sebagai upah jagal, beaya operasional dan semacamnya.
Adapun mengapa tidak boleh dijual dan dijadikan upah jagal atau untuk biaya-biaya operasional yang lain, maka disamping memang hal itu semua dilarang berdasarkan dalil-dalilnya. Juga karena penjualan, pengupahan jagal dan pengambilan beaya operasional dari bagian hewan qurban itu, akan mengurangi nilai qurban dan menjadikannya tidak utuh lagi sebagai ibadah persembahan kepada Allah Ta’ala.
Logikanya adalah bahwa, jika kulit hewan qurban itu misalnya dijual oleh pequrbannya atau lebih-lebih dijadikan sebagai upah jagal serta beaya operasional, maka seolah-olah sang pequrban telah berqurban dengan misalnya seekor kambing atau sapi tanpa kulit (?!)
Selanjutnya, tentang bagaimana cara panitia qurban di masjid dan lain-lain menyikapi dan memperlakukan kulit-kulit tersebut, maka dibawah ini penjelasannya.
Perlu dipahami bahwa, larangan menjual kulit atau bagian apapun dari hewan qurban itu tertuju kepada sang pequrban dan juga panitia qurban dalam status, posisi dan kapasitasnya sebagai wakil kepercayaan dan penerima serta pengemban amanah para pequrban. Adapun jika yang melakukan penjualan itu si penerima kulit atau seseorang atau pihak yang berstatus sebagai wakil kepercayaan penerima, dan bukan wakil pequrban, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.
Karena para penerima memang bebas meng-apakan saja (tentu selain memubadzirkannya!) apa-apa yang diterimanya dari bagian hewan qurban, seperti memanfaatkannya sendiri, mengonsumsinya, memberikannya kepada orang lain, termasuk menjualnya dan lain-lain. Dan sebagaimana mereka (para penerima) bebas menjual sendiri yang mereka terima dari hewan qurban, seperti kulitnya misalnya bahkan juga dagingnya , maka proses dan transaksi penjualan tersebut juga boleh jika diwakilkan kepada orang atau pihak lain.
Selanjutnya berikut ini beberapa opsi atau alternatif pilihan terkait cara memperlakukan dan mendistribusikan kulit hewan qurban:
Pertama: Panitia melakukan pendataan nama orang-orang atau pihak-pihak penerima (tidak harus perorangan, tapi insyaa-allah bisa juga yayasan, lembaga, masjid, panti, sekolah dan lain-lain) yang dinilai berhak mendapatkan kulit-kulit itu. Lalu setelah proses penyembelihan dan pengulitan usai serta kulit-kulit terkumpul, maka panitia menyerahkannya secara langsung dalam bentuk kulit kepada mereka sesuai data yang ada dan telah dibuat sebelumnya.
Selanjutnya mereka (para penerima) bebas dan leluasa untuk melakukan apa saja terhadap kulit-kulit itu sesuai kemauan dan kebutuhan masing-masing. Karena dengan telah diserah terimakan, maka otomatis kulit-kulit itu telah menjadi hak milik sah para penerimanya. Yang berarti pula dengan begitu panitia telah lepas tanggung jawab terhadapnya.
Kedua: Panitia melakukan pendataan para calon penerima seperti yang pertama, lalu mendatangi atau menghubungi masing-masing untuk memberi tahu bahwa, ia akan kebagian kulit, seraya menanyakan apakah akan menerimanya langsung dalam bentuk kulit, ataukah ingin dibantu menjualnya? Sehingga jika setuju ia cukup menerima uang hasil penjualan senilai harga kulit yang telah ditetapkan menjadi bagian-nya.
Bila calon penerima ingin dibantu menjualkan, maka siapa saja (yang penting amanah) bisa dan boleh mewakilinya dalam penjualan, termasuk panitia itu sendiri. Karena yang penting disini status dan posisinya sudah sebagai wakil penerima dan bukan lagi sebagai wakil pequrban. Ingat, yang tidak boleh adalah jika panitia menjual kulit masih dalan status dan posisinya sebagai wakil pequrban. Karena memang wakil itu terikat dengan seluruh hukum dan konsekuensi yang mengikat pihak yang diwakilinya!
Ketiga: Panitia melakukan pendataan nama-nama calon penerima kulit seperti yang pertama dan kedua itu, akan tetapi tanpa harus mendatangi atau menghubungi satu persatu pihak-pihak calon penerima yang telah terdata tersebut. Melainkan bisa langsung mewakili mereka dalam penjualan kulit yang telah menjadi bagian dan hak milik mereka sesuai data, lalu menyerahkan hasil penjualan kulit itu kepada mereka seusai proses transaksi jual beli.
Dan hal itupun insya-allah ditolerir, karena hampir bisa dipastikan bahwa, para penerima itu akan setuju jika dibantu dalam penjualan kulit-kulit milik mereka untuk nantinya tinggal menerima hasil penjualan dalam bentuk uang. Karena hal itu lebih memudahkan panitia dan sekaligus lebih meringankan dan membantu mereka sendiri.
Namun cara yang lebih afdhal terkait opsi ketiga ini adalah, sebaiknya panitia menunjuk atau membentuk sub panitia yang secara khusus bertugas menangani kulit, yang sejak awal telah disepakati tentang status dan posisinya sebagai wakil para calon penerima kulit. Khususnya dalam melakukan proses dan transaksi penjualan serta penyerahan hasilnya kepada mereka sesuai data yang telah dibuat sebelumnya.
Dan satu hal yang harus ditegaskan agar tidak diabaikan disini, dan juga supaya proses transaksi penjualan kulit itu dibenarkan dalam rangka mewakili dan atas nama pihak-pihak penerima, serta bukan lagi mewakili dan atas nama para pequrban, adalah bahwa pendataan nama-nama atau pihak-pihak calon penerima kulit harus sudah dilakukan sebelumnya. Sehingga saat transaksi penjualan terjadi, status kulit-kulit itu sudah benar-benar jelas sasaran alamat calon penerimanya.
Dimana hal ini tentu saja berbeda dengan praktik umumnya panitia qurban, yang langsung menjual kulit-kulit qurban sebelum jelas betul siapa-siapa saja pihak calon penerimanya. Karena dalam kondisi seperti itu status dan posisi panitia tetap sebagai wakil para pequrban, dan bukan wakil penerima karena sampai penjualan terjadi, para penerima masih belum jelas dan belum definitif!
Keempat: Tiga opsi diatas itu didasarkan pada madzhab jumhur ulama yang melarang penjualan kulit dan bagian-bagian lain dari hewan qurban, seperti yang telah disebutkan dimuka. Namun bila mengacu pada madzhab Hanafi dan sebuah riwayat dalam madzhab Hambali, maka ada opsi keempat yang setidaknya masih bisa ditolerir sesuai kaidah fiqhul ikhtilaf (fiqih toleransi dalam perbedaan pendapat). Yakni melalui penjualan kulit hewan qurban secara langsung oleh panitia. Akan tetapi dengan syarat hasil penjualannya tetap tidak untuk dijadikan sebagai ongkos jagal dan beaya operasional. Melainkan hanya untuk disedekahkan dan diinfakkan saja.
Diantara dalilnya adalah riwayat dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa, beliau pernah menjual kulit sapi qurban dan mensedekahkan hasil penjualannya itu. Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Tuhfatul Maudud Bi-ahkamil Maulud” mengutip bahwa, Imam Ishaq bin Manshur berkata: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal): Tentang kulit hewan qurban, apa yang bisa dilakukan dengannya? Beliau (Imam Ahmad) menjawab: Bisa dimanfaatkan dan harga penjualannya juga bisa disedekahkan. Aku bertanya lagi (untuk menegaskan): Berarti boleh dijual dan hasil penjualannya disedekahkan? Beliau menjawab lagi: Benar, sebagaimana hadits Ibnu Umar.
Itulah empat opsi yang bisa dilakukan dalam menyikapi dan memperlakukan kulit hewan qurban yang selama ini memang hampir selalu dilematis bagi para panitia qurban setiap tahun. Semoga uraian singkat ini bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat.
Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.
Ahmad Mudzoffar Jufri MA. alumni Pondok Pesantren Maskumambang, tinggal di Surabaya